Rabu pagi di akhir Maret, Nuna kuliah seperti biasa. Di tengah perkuliahannya Nuna mendapat jarkom bahwa hari Kamis dan Jumat tidak ada kuliah karena dosen pergi ke luar kota. Hati Nuna bingung, terbesit keinginan untuk pulang ke kampung halamannya di Bandung (Jawa Barat), karena sejak mulai kuliah semeter enam ini dia belum pulang ke rumahnya. Nuna semakin gelisah ketika teman-temannya semangat untuk pulang kampung, padahal mereka sudah sering pulang ke kampung halaman masing-masing.
Lena bertanya “Kali ini Nuna pulang nggak?”
“Bingung Len,mau pulang naik apa,sama siapa?”, jawab Nuna
“Naik kereta atau bis aja!”, sahut teman-teman yang lain.
“Naik bis pusing, pasti mabuk! Soalnya aku biasa naik motor, paling kalo sendirian ya naik kereta!” kata Nuna
Nuna sebenarnya ingin pulang ke kampung halamannya sesering mungkin, tetapi baginya kuliah semester enam ini cukup berat. Nuna adalah mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, baginya sulit untuk membolos kuliah demi pulang kampung. Apalagi jadwal kuliah Nuna dari hari Senin sampai Jum’at, sedangkan perjalanan menuju kampung halamannya memerlukan waktu seharian, jadi Nuna pikir kalau pulang kampung waktunya hanya terbuang di perjalanan saja.
Namun kali ini pemikirannya berbeda, setelah mempertimbangkan tugas-tugas yang harus di selesaikan, hati Nuna berbisik “Mumpung ada kesempatan, lumayan dua hari di rumah!”. Nuna pun langsung menelpon kakaknya yang berkuliah di fakultas yang sama namun berbeda prodi.
“Kakak, besok aku nggak ada kuliah, pulang yuk?” Nuna begitu bersemangat.
“Besok? Kenapa mendadak?” tanya Kakak.
“Aku juga beru dapat info Kak!” jawab Nuna.
“Wah nggak bisa dik, besok Kakak harus konsultasi proposal skripsi dengan dosen!” jawab Kakak.
“Terus Nuna gimana? Nuna ingin pulang Kakak! Masa naik motor sendiri?” jawab Nuna dengan manja.
“Naik bus saja!” jawab Kakak.
“Nggak mau, pusing!” sahut Nuna.
“Kalau begitu naik kereta aja!” kata Kakak.
“Huft, percuma punya Kakak kalo nggak bisa diajak kompromi!” jawan Nuna ketus.
“Gimana lagi? Kamu mau Kakak cepet lulus apa nggak?” kata Kakak.
“Terserah deh, ya udah kalo gitu! Asslamu’alaikum!” Nuna langsung menutup teleponnya.
Kemudian Nuna menelepon Ibunya.
“Ibu, Nuna besok pulang ya?” kata Nuna penuh semangat.
“Besok kan hari kamis, bagaimana dengan kuliahmu Dik?” jawab ibunya.
“Besok dosennya tidak datang Bu! Boleh pulang ya bu? Mumpung ada kesempatan ni!” sahut Nuna.
“Ya sudahlah, tapi Adik pulang dengan siapa? Naik apa? Kakakmu bagaimana?” tanya ibu dengan ragu karena Nuna adalah anak yang manja.
“Kakak lagi ngurus skripsi, jadi nggak bisa pulang bu! Nuna pulang sendiri saja naik kereta besok siang!” jawab Nuna.
“Adik yakin mau pulang sendiri?” tanya ibu.
“Iya ibu, Nuna kan bukan Nuna kecil lagi yang harus dijagain sama Kakak!” jawab Nuna.
“Ya sudah, besok biar ayah yang menjemputmu di stasiun!” sahut ibu.
“Oke ibu, makasih ya? Assalamu’alaikum...” jawab Nuna dengan manja.
Nuna mulai mempersiapkan diri untuk pulang hari besok, mulai dari tugas-tugas yang harus diselesaikan sampai katalog Sophie Martin yang ingin Nuna tunjukkan pada ibunya. Nuna terdiam dan berpikir, “Besok siapa yang mau nganter aku ke stasiun? Kakak kan kuliah, mana nggak punya pacar lagi!” Resah Nuna dalam hati, “Naik taksi mahal, naik becak kayanya manja banget, kalau gitu naik bis aja deh, tapi bis apa?”tanya Nuna dalam hati. Nuna bingung karena terbiasa naik sepeda motor dan jarang sekali naik bus.
Kemudian Nuna bertanya pada teman satu kosnya,
“Rin, ke stasiun Jebres naik bis apa?tanya Nuna.
“Dulu aku naik bis Atmo.”jawab Rini.
“Lho bukannya Atmo itu jalur Grand Mall yah? Naik bis Damri, Batik Solo Trans, atau Nusa mungkin?” sahut Ika.
“Masa? Tapi kemarin aku naik bis Atmo bisa!” jawab Rini.
“Aduuuuuh, jangan bikin pusing dong! Aku makin bingung!” sahut Nuna.
“ Ahhh nggak tau deh!” sahut Nuna.
“Ya udah, besok aku antarin ke halte untuk menunggu bis kan besok aku libur!” kata Rini.
“Oke Rin, makasih yah?” jawab Nuna.
Sore berganti malam, malam pun berganti pagi. Pagi ini Nuna berkemas mempersiapkan kepulangannya, sarapan, meloundry pakaian, selimut dan sprei. Hatinya pun kembali resah karena harus pergi menaiki bus sendiri, saatnya pun tiba Nuna mengunci sepeda motornya di dalam kamar kosnya dan berangkat ke halte ditemani Rini.
Nuna resah saat bus Damri yang ditunggu tidak cepat datang, lalu muncullah bus Atmo.
“Itu bis Atmo, naik Atmo aja daripada ketinggalan kereta!” kata Rini.
“Yakin? Tanyain ya ke stasiun Jebres apa nggak?” sahut Nuna.
Bus Atmo pun mendekat,
“Pak, ke stasiun Jebres nggak?” tanya Rini pada kondektur bus.
Kondektur hanya mengangguk dan Nuna langsung menaiki bus Atmo itu. Bus baru berjalan tiga menit saja Nuna sudah merasa pusing dengan aroma bus Atmo itu karena sebenarnya Nuna berharap bisa menaiki bus beAC, tapi apa boleh buat daripada ketinggalan kereta. Waktu terus berjalan, setelah sepuluh menit kondektur bus bertanya pada Nuna, “Stasiun Jebres ya Mbak?”
“Iya!” jawab Nuna.
“Kalo begitu turun sini saja, tinggal jalan sekitar sepuluh menit!” sahut kondektur.
“Ohh ya,” Nuna tersenyum sinis.
Nuna turun dan berjalan cukup jauh, ternyata bus itu bukan jalur ke stasiun Jebres. Nuna kecewa berat pada si kondektur, “Kenapa harus berbohong untuk mendapatkan penumpang?”. Semua ini semakin membuat Nuna trauma untuk menaiki bus umum, Nuna terus berjalan dengan headset yang menempel ditelinganya.
Sesampainya di stasiun Jebres, Nuna melihat jam dan jadwal keberangkatan kereta api Pasundan. Nuna pun membeli tiket kereta api Pasundan tujuan akhir Kiaracondong Bandung, kemudian menunggu kereta di tempat duduk yang tersedia di ruang tunggu. Saat itu jam menunjukkan pukul 11.00 dan jadwal kedatangan kereta di stasiun Jebres pukul 11.30. Nuna memandangi kereta Pramex yang ada di hadapannya, terbesit keinginan untuk berjalan-jalan ke Jogja menggunakan kereta itu. Tanpa Nuna sadari ternyata ada sesosok pria yang memandanginya dari dalam kereta, Nuna pun tersadar dan pura-pura tidak melihat pria itu.
“Ganteng sih, tapi kenapa ngeliatin aku terus?” tanya Nuna dalan hati.
Kereta Pramex pun siap diberangkatkan ke Jogja, ternyata pria itu masih memandangi Nuna dan parahnya pria itu melambaikan tanggannya saat kereta Pramex mulai berjalan. Semua itu membuat Nuna salah tingkah, dan Nuna hanya bisa tersenyum. Jam sudah menunjuk pukul 12.40, dan pihak stasiun mengumumkan bahwa kereta Pasundan masih berada di Sragen dan akan memasuki stasiun Jebres pada pukul 12.00. Nuna mulai merasakan kebosanan, hingga kereta yang ditunggu-tunggu datang. Nuna menaiki kereta dan mendapatkan tempat duduk di dekat pintu gerbong kereta api.
“Waah lumayan, ada yang bening!” dalam hati Nuna setelah melihat pria yang berdiri di dekat pintu gerbong.
Kereta terus berjalan hingga sampai di stasiun Lempuyangan Jogjakarta, Nuna yang sibuk dengan facebook mobilenya tiba-tiba membaca status seseorang yang tertulis “ Saatnya mudik!”, yang menulis status itu adalah Finot, mantan kekasihnya yang sekarang kuliah Universitas Atma Jaya Jogjakarta. Sesekali mereka berhubungan lewat facebook, beberapa kali juga Finot menelepon Nuna. Tapi Nuna tidak begitu merespon mantah kekasihnya itu, karena baginya belum ada amandemen dalam kamus hidupnya untuk kembali pada mantan kekasih. Sekali mantan akan terus menjadi teman biasa, begitu juga sikapnya pada mantan kekasihnya yang lain.
Kereta pun mulai berjalan kembali dan buzzz!!! Mata Nuna melihat sosok pria yang ia kenal, pria itu baru memasuki gerbong kereta dan Nuna teringat pada facebooknya, Finot. Nuna shock, “OMG!” teriak Nuna dalam hati. Nuna pun salah tingkah, dan takut kalau Finot akan mengenalinya karena Nuna tahu persis bahwa masih ada cinta diantara mereka berdua walaupun hanya seujung kuku. Nuna terus menunduk, sesampainya kereta di stasiun Wates seseorang di hadapannya berdiri dan akan turun dari kereta dan Finot pun duduk di hadapannya. “Nuna?” sapa Finot,
“Ohh Finot! Kamu mudik juga?” Nuna balik menyapa.
“Iya, Kok bisa bareng yah?” Finot menggoda.
“Uhh iyah kok bisa ya?” jawab Nuna salah tingkah.
“Nopemu masih yang dulu kan?” tanya Finot.
“Masih Fin,” jawab Nuna.
Finot pun semakin aktif mengajak Nuna untuk mengobrol, parahnya orang yang duduk di sebelah Nuna pun turun, jadi Finot pindah duduk di sebelah Nuna. Nuna pun semakin gelisah, karena tak biasanya ia merasakan detak jantung yang berdebar-debar. Nuna tahu persis bahwa Finot adalah orang yang aktif, supel, dan easy going. Itulah yang membuat Nuna takut salah mengartikan sikap Finot.
Finot bertanya, “Sudah punya pacar Nun?”
Nuna hanya menggelengkan kepalanya, Finot pun tahu bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk kembali pada Nuna. Walaupun sebelumnya Finot telah berusaha mendekati Nuna dan ditolak, namun semua itu karena dulu Nuna telah mempunyai kekasih. Mereka pun semakin akrab, hingga kereta sudah memasuki kawasan Bandung. Dan Nuna mendapat pesan dari ayahnya, kalau ayahnya akan terlambat menjemput ke stasiun karena ban mobilnya kempes. Nuna menghela nafas, hari ini terasa berat baginya, mulai dari salah naik bus, harus berjalan kaki cukup jauh, kereta yang terlambat datang, yang paling berat adalah pertemuannya dengan Finot yang hampir selama empat tahun tak bertemu.
Finot pun bertanya “Kenapa? Kok habis baca sms langsung cemberut? Siapa yang sms?”
“Nggak apa-apa Fin. Ayahku bilang kalo telat jemput soalnya ban mobilnya kempes!” jawab Nuna.
“Kalo gitu kenapa kamu nggak ikut aku aja? Kan rumah kita searah!” sahut Finot.
“Wah nggak usah Fin, biar aku tunggu ayahku aja!” jawab Nuna.
“Udahlah, lagian aku juga cuma dijemput supir kok! Pokoknya kamu harus ikut aku!” tegas Finot.
Handphone Nuna direbut dan Finot yang membalas sms dari ayah Nuna, isinya “ Tenang aja Ayah, Nuna nanti diantar teman saja!”
Nuna tahu betul siapa Finot, karena mereka sempat berpacaran selama tiga tahun dan itulah Finot, keinginannya tak kan bisa ditolak. Nuna pun hanya diam saja, karena ada perasaan bahagia bersama Finot dalam hatinya.
Kereta api Pasundan pun memasuki kawasan Kiara Condong Bandung, mereka pun turun bersama. Nuna pun melompat dari kereta api dengan pegangan tangan Finot, jantung Nuna berdebar seakan dia berada di masa lalu, masa-masa menjadi kekasih Finot. Finot pun menggandeng tangan Nuna, Nuna ingin melepaskannya tapi genggaman itu terlalu kuat baginya. Sesampainya di depan mobilnya, Finot pun membukakan pintu untuk Nuna. Mobil pun berjalan ke arah rumah Nuna, Nuna lebih banyak diam di dalam mobil.
“Nuna kenapa kamu diam aja?” tanya Finot.
“Aku cuma capek Fin!” jawab Nuna yang sebenarnya sedang gelisah, takut kalau cinta yang dulu akan bersemi kembali.
Sampailah mereka di rumah Nuna, ibu Nuna yang melihat dari balik jendela pun terkejut ketika Nuna pulang tanpa ayahnya tapi sekaligus bahagia karena ada Finot yang mengantar Nuna pulang. Karena ibu Nuna menyukai Finot yang juga anak kerabat ibu Nuna.
“Udah nyampek, makasi ya?” kata Nuna.
“Kamu nggak ingin aku mampir dulu?” Finot menggoda.
“Lain kali aja ya Fin? Aku capek banget!” sahut Nuna.
“Ohh ya udah, kapan-kapan aku maen boleh kan?” kata Finot.
“Iya boleh aja!” kata Nuna.
“Ya udah aku pulang dulu ya? Met istirahat!” kata Finot.
“Iya hati-hati ya, sekali lagi makasih!” kata Nuna.
“Yup!” sahut Finot sambil memasuki mobilnya.
Nuna pun memasuki rumahnya, ibunya menyambut dengan gembira.
“Adik sayang, kenapa kamu tidak pulang dengan ayah?” tanya Ibu.
“Iya ibu ban mobil ayah kempes bu!” jawab Nuna.
“Lalu kenapa kamu pulang dengan Finot?” tanya Ibu seakan mengintrogasi Nuna.
“Ibuku sayang, Nuna nggak sengaja ketemu Finot di kereta dan diantar pulang. Itu saja nggak lebih, Nuna mandi dulu yah?” jawab Nuna meyakinkan Ibunya.
“Nuna ibu belum selesai bicara!” teriak Ibunya.
Nuna pun selesai mandi dan makan malam, kemudian dia bersiap untuk tidur. Tapi hati Nuna resah, bayangan tentang masa lalu itu kembali. Masa bersama Finot, tanpa Nuna sadari ia pun tersenyum-senyum sendiri membayangkan apa yang terjadi hari ini. Bertemu dengan Finot lagi, tiba-tiba ada sms dari nomor asing masuk di handphonenya.
“Med malem Nuna, met istirahat! From Finot”
Membaca nama itu Nuna panik, “Finot lagi? Apakah sama-sama saling memikirkan? Kenapa hati ini merindukannya? Nuna please deh!” teriak Nuna dalam hati.
Keesokan harinya Nuna bangun kesiangan, mungkin kelelahan. Saat itu pukul sembilan pagi, dengan mata mengantuk Nuna menuruni tangga menuju ruang tengah, tapi Nuna mendengar suara mobil baru saja keluar dari halaman rumahnya.
“Ibu, ayah baru berangkat yah?” tanya Nuna.
“Ayahmu sudah berangkat pagi-pagi sekali, katanya takut terjebak macet!” jawab ibu.
“Lalu barusan mobil siapa bu?” tanya Nuna.
“Masa kamu nggak hafal sama suara mobil itu? Itukan mobil Finot?” ibu menggoda.
Nuna pun terkejut dan tersedak saat minum air putih, “Apah? Finot? Finot kesini bu? ngapain? tanya Nuna panik.
“Tenang Nuna, tenang. Dia cuma nganterin nasi kuning kesukaanmu! Ibu tau kalo kalian cuma berteman, walaupun ibu berharap lebih!” sahut ibu menggoda Nuna.
Nuna pun terdiam, dalam hatinya pun ingin kembali pada Finot tapi Nuna belum ingin mengamandemen kamus hidupnya. Apalagi Nuna adalah tipe pencemburu sedangkan Finot adalah tipe yang diidam-idamkan banyak remaja putri, dan juga banyak didekati teman perempuannya.
Siang harinya Finot menelepon Nuna dan mengajaknya keliling kota Bandung, tetapi Nuna menolak dengan berbagai alasan yang sepertinya kurang masuk akal. Finot pun tak pantang menyerah, malam harinya dia datang ke rumah Nuna. Finot tahu bahwa ini adalah kesempatan terbaik untuk mengambil hati Nuna kembali. Nuna pun agak kesal karena Finot tidak memberitahunya terlebih dahulu jika akan datang ke rumahnya, namun kebahagiaan dalam hatinya pun tak bisa ia pungkiri lagi saat Finot tiba-tiba hadir di hadapannya. Mereka pun semakin dekat, walau Nuna tetap menjaga jarak dengan Finot.
Hari minggu pun tiba, saatnya Nuna berangkat ke Solo. Tiba-tiba ponselnya berdering, Finot.
“Pagi Nuna?” sapa Finot.
“Apa?” jawab Nuna sinis.
“Pagi ini kita akan berangkat ke Solo bareng kan?” tanya Finot.
“Hah?” Nuna keheranan.
“Iya aku sudah bilang sama Ibumu kalo nanti aku yang jemput kamu?” jawab Finot.
“Ohh y? Okelah...” suara Nuna terdengar pasrah.
“Kalo gitu cepat siap-siap yah? Lima belas menit lagi aku jemput! Bye...” seru Finot.
“Ya daa...h!” jawab Nuna.
Nuna pun berkemas untuk kembali berangkat ke Solo. Finot pun datang menjemput tepat waktu. Finot dan Nuna berpamitan dengan ibu Nuna. Sesampainya di terminal, mereka memesan tiket dan menunggu bus bersama, Nuna sangat terlihat menghindari Finot. Dan Finot pun bisa memahaminya, hingga bus yang dinantikan datang. Dan mereka pun duduk bersama dalam bus, Nuna merasakan debaran itu lagi, Finot pun memulai percakapan-percakapan kecil dengan Nuna.
“Sudah sarapan kan Nun?” tanya Finot.
“Iya sudah!” jawab Nuna singkat.
Bus yang ditunggu sudah datang, tanpa ragu Finot membantu mengangkat tas Nuna. Nuna pun dengan santai menaiki bus. Mereka duduk bersama, Finot pun semakin memperlihatkan perhatiannya pada Nuna.
“Aku turun sebentar ya Nun!” kata Finot.
Nuna hanya mengangguk, ternyata Finot membeli dua botol minuman di kantin terminal untuk persediaan selama diperjalanan.
“Nih!” Finot menyodorkan sebotol minuman dingin pada Nuna.
“Ohh ya, makasih! Kok tahu kalau aku nggak bawa air?’ tanya Nuna tersenyum bahagia.
“Tahu donk! Finot gitu...! apa sih yang Finot nggak tahu tentang Nuna?” Jawab Finot menggoda.
“Ahh dasar Kamu nggak pernah berubah dari dulu!” kata Nuna tersenyum manja.
Nuna dan Finot mengobrol selama perjalanan, Nuna pun mulai mengantuk dan menyandarkan kepalanya di jendela bus. Nuna terlelap dan Finot menggeser kepala Nuna ke arah bahunya, Finot benar-benar menjaga Nuna. Nuna terbangun dan tersadar kalau dia terlelapu di atas bahu Finot, tetapi Nuna sangat merasa nyaman.
Bus memasuki wilayah Jogjakarta, sampai di terminal Jogjakarta Finot bersiap untuk turun dari bus. Finot pun berpamitan dengan Nuna.
“Aku turun dulu Nun!” kata Finot.
“Iya, hati-hati ya Fin?” kata Nuna tersenyum.
“Kamu juga ya jangan tertidur lagi, satu jam lagi juga sampai Solo!” kata Finot.
“Iya!” Nuna mengangguk.
Finot turun dari bus, dan beberapa saat setelah Finot turun dari bus, Nuna merasa ada yang hilang. Nuna merasa kesepian, dan takut kalau dia akan jauh dari Finot. Nuna pun mengirim pesan pada Finot.
“Makasih Fin...!”
“Untuk apa?” Finot membalas pesan Nuna.
“Untuk semuanya, titi dj yaw!” balas Nuna.
“Okk, you’re welcome” balas Finot.
Bus yang dinaiki Nuna siap diberangkatkan ke Solo, kemudian ada seorang pria yang duduk di samping Nuna. Pria itu teringat pada wajah Nuna yang khas karena kecantikannya, dan pria itu pun bertanya pada Nuna.
“Turun dimana Mbak?” tanya pria itu.
“Solo Mas!” jawab Nuna singkat.
“Solo? Sama dong! Kuliah?” tanya pria itu.
“iya!” jawab Nuna singkat.
“Di UNS?” tanya pria itu lagi.
“Iya!” jawab Nuna.
“Sama dong, aku FISIP! Kamu fakultas apa?” tanyanya.
“Ohh FISIP, aku FKIP Mas!” jawab Nuna.
“Ohh... Jurusan apa? Terus angkatan berapa?” tanyanya.
“PBS 2009, Mas angkatan berapa?” Nuna balik bertanya.
“Ohh aku angkatan 2007! Apa sebelumnya Kita pernah bertemu?” tanya pria itu.
“Hah?” Nuna kebingungan.
“Oh ya lupakan saja, daritadi Kita mengobrol tapi belum kenalan! Namaku Ipam.” sahutnya.
“Nuna.” sambil menyalami tangan Ipam.
Mereka saling bercakap-cakap dan menanyakan satu sama lain, Nuna belum pernah merasa senyaman ini dengan orang yang baru ia kenal. Ipam memberikan nuansa yang berbeda dengan sopansantunnya. Mereka pun menambahkan pertemanan ke akun facebook masing-masing, dan Ipam mulai teringat bahwa Nuna adalah perempuan yang pernah ia pandangi di stasiun Jebres.
“Nuna ingat aku nggak?” tanya Ipam.
“Maksutnya?” Nuna balik bertanya kebingungan.
“Kita pernah ketemu di Stasiun Jebres, tiga hari yang lalu. Waktu itu aku di dalam gerbong Pramex!” Ipam menegaskan.
“Oh, kamu yang ngliatin aku?” jawab Nuna memastikan.
“Hehe... iya!” jawab Ipam dengan tersenyum malu.
Bus sudah memasuki wilayah Surakarta, Nuna dan Ipam bersiap untuk turun dari bus. Ipam mengajak Nuna untuk naik taksi bersamanya, dan Nuna pun setuju. taksi yang dinaiki Nuna dan Ipam berhenti di pertigaan jalan, karena Nuna dan Ipam harus melewati gang. Ternyata kos mereka hanya berjarak kuranglebih 100 meter.
Hari berganti hari, Finot dan Nuna pun semakin sering berkomunikasi bahkan bisa dibilang setiap hari mereka saling berkirim pesan dan saling menelepon. Entah mengapa seakan Nuna menemukan kembali sesuatu yang hilang, karena baginya Finot adalah mantan kekasih terbaik. Sampai akhirnya dua minggu berlalu, dan Finot memberikan Nuna kejutan dengan berencana untuk pergi ke Solo untuk menemui Nuna dan menyatakan cintanya.
Hari sabtu pun tiba, Finot berangkat ke Solo dengan menggunakan sepeda motornya. Di hari yang sama, Ipam mencari Nuna ke kosnya karena akan memberikan angket survei untuk keperluan skripsinya. Ipam dan Nuna duduk bersama di teras kos Nuna, mereka merasa semakin akrab, dan mereka mengobrol dengan penuh canda tawa. Di saat yang sama datanglah Finot memasuki area parkir kos Nuna, karena ia telah mendapat alamat kos Nuna dari Ibunya.
Finot pun tercengang melihat Nuna sedang asik berbincang dengan pria lain yang terlihat lebih dewasa. Nuna pun tidak merespon kedatangan Finot, karena ia tidak paham dengan Finot yang wajahnya masih tertutup slayer dan helm. Finot membuka helmnya dan memanggil Nuna.
“Nuna!” teriak Finot.
“Ya...” jawab Nuna kebingungan.
“Lho Finot? Kamu ngapain di sini?” Nuna panik dan bingung harus berbuat apa ketika orang yang ia sayangi melihatnya dengan pria lain.
“Cari kamu!” jawab Finot singkat.
Finot turun dari sepeda motornya, dan diperkenalkan dengan Ipam oleh Nuna.
“Kenalin Fin, ini Mas Ipam!” kata Nuna
“Finot!” sahut Finot singkat
“Ipam!” jawab Ipam
Mereka bertiga terdiam sejenak, dan Ipam langsung berpamitan. Finot merasa sangat cemburu melihat Nuna menyambut baik kedatangan pria lain selain dirinya. Finot sangat ingin tahu sebenarnya ada hubungan apa diantara Nuna dengan Ipam. Tanpa ragu Finot bertanya.
“Pacar Kamu Nun?” tanya Finot.
“Hah? Ohh bukan, dia tadi mengantar angket survei penelitiannya!” jawab Nuna.
“Jadi Cuma teman?” Finot bertanya lagi.
“Ya iyalah Fin... Ngomong-ngomong ngapain kamu ke Solo?” tanya Nuna.
“Aku ingin keliling Solo bersamaMu Nun! Ayo cepat bersiap, malam ini aku balik ke Jogja lagi!” jawab Finot.
“Tapi kita mau kemana?” tanya Nuna.
“Gampang, yang penting kamu ganti baju dulu!” jawab Finot.
Tanpa berpikir panjang, Nuna pun bersiap. Kali ini Nuna tak ingin menolak Finot, karena ia sangat bahagia dengan kedatangan Finot ke Solo. Mereka berjalan-jalan mengelilingi kota Solo, mulai dari mengelilingi kampus Nuna, mengunjungi taman wisata Jurug, berjalan-jalan di Solo Grand Mall, makan siang, hingga menonton bioskop. Hari sudah petang, Finot pun mengajak Nuna makan malam di tempat favorit Nuna.
Setelah selesai makan malam, Finot menggenggam tangan Nuna dan mulai mengutarakan cintanya.
“Nuna? Belakangan ini kita sudah kembali dekat, aku pun merasa nyaman saat bersamamu. Bagaimana denganmu?” tanya Finot.
Nuna pun hanya tersenyum penuh arti,
“Aku yakin Nuna, kalau selama ini Kamu tahu bahwa aku masih sangat menyayangimu. Perasaanku padamu belum berubah, dan takkan pernah berubah. Makanya aku sulit untuk mencintai perempuan lain setelah kita putus! Kamu tahu itu kan Nun?” tanya Finot.
Nuna pun hanya terdiam, bingung memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Nuna, aku masih sayang kamu, aku masih mencintaimu, aku yakin kalau kamu adalah untukku, takdirku, dan bagian dari tulang rusukku. Maukah kamu menerimaku kembali untuk menjadi kekasihmu Nun? Kekasih hatimu?” tanya Finot.
“Kamu serius Fin?” Nuna balik bertanya.
“Aku serius Nun!” jawab Finot.
Nuna terdiam, berpikir sejenak, bertanya pada hatinya, dan dia pun tak bisa memungkiri bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Finot.
“Baiklah Fin, ternyata hati ini tak bisa berdusta kalau aku juga masih sayang kamu!” jawab Nuna.
“Benarkah Nun? Oke kita balikan yah?” Finot memastikan dengan perasaan lega.
“Iya,” jawab Nuna singkat dengan senyum yang penuh kebahagiaan.
Finot dan Nuna kembali menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, walaupun terpisah oleh jarak. Namun mereka bisa sama-sama membagi waktu, mereka semakin kompak, semakin mengerti satu sama lain, dan mereka juga semakin memahami kalau hati benar-benar tak bisa berdusta.
Bersambung...