Biografi Pengarang
I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Unsur Strukturalistik Cerpen Peradilan Rakyat Karya Putu Wijaya
1. Tema: Keadilan di Masyarakat
2. Alur: Maju (progesif)
a. Plausibilitas, yaitu hal-hal yang dipercaya sesuai logika cerita.
Dalam cerpen ini terdapat alur cerita yang sesuai dengan logika, contohnya pada kutipan berikut ini :
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
b. Suspense, yaitu cerita mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca.
Dalam cerpen ini terdapat alur cerita yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, contohnya pada kutipan berikut ini :
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi – diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin – doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang."Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.""Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."
c. Surprise, yaitu cerita mampu memberikan kejutan kepada pembaca sehingga pembaca ingin mengetahui kelanjutan cerita tersebut.
Dalam cerpen ini terdapat alur cerita yang mampu memberikan kejutan kepada pembaca, contohnya pada kutipan berikut ini :
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster – poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
d. Unity (kepaduan), yaitu peristiwa yang ditampilkan dalam cerita memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.
Dalam cerpen ini terdapat keterkaitan dalam setiap kisahnya.
3. Latar
· Latar tempat : Pada cerpen, latar tempat ditunjukan pada kutipan cerpen sebagai berikut:
“Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.”
Latar tempat yang dimaksud, merupakan kantor pengacara dimana tempat ayahnya seorang pengacara senior.
· Latar Sosial, yaitu yang mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
4. Penokohan dan Perwatakan
a) Pengacara Muda (anak): merupakan seorang pemuda yang kritis, tekun, bersemangat cerdas dan profesional terhadap pekerjaannya sebagi seorang pengacara. Hal tersebut berdasarkan kutipan dibawah ini:
“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri”
Dari kutipan diatas menunjukkan bahwa pengacara muda tersebut cerdas, dan berpikir kritis. Ia mencermati keadaan dan situasi, seorang pengacara muda yang bersikap adil dan profesional pada pekerjaannya sebagai pengacara.
b) Pengacara Senior (ayah): tua, lemah dan sakit. Memiliki bijaksana, penyayang, rendah hati. Hal tersebut berdasarkan kutipan:
“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia.”
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
Dari kutipan diatas, karakter tokoh ayah yang menyayangi dan merindukan putranya. Pengacara senior sudah tampak lemah dan tua.
c) Sekretaris, perhatian, baik, cantik jelita. Hal tersebut berdasarkan kutipan dibawah ini:
“Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.”
“Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”
Dikemukakan, bahwa sekretaris yang cantik dan dan perhatian. Ia mengatakan bahwa pengacara senior hendak beristirahat.
d) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Sudut pandang yang terdapat dalam cerpen Peradilan Rakyat adalah Sudut pandang orang ketiga yaitu sudut pandang yang biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; Contohnya pada kutipan dibawah ini
“Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung,
…. Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.”
Berdasarkan pada kutipan diatas, diketahui penggunaan tokoh “ia” dan subjek lain dengan kata ganti pengacara muda.
5. Gaya Bahasa
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Melebih-lebihkan kata sehingga menampilkan unsur-unsur sasta yang indah dan menarik. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Putu Wijaya juga menggunakan majas dalam karyanya, antara lain :
Majas perumpamaan pada kutipan berikut :
§ Mereka menyebutku Singa Lapar.
§ Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam
§ Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang kalau perlu dingin dan beku.
Majas metafora, pada kutipan berikut :
Dengan gemilang dan mudah ia mempencundangi negara dipengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu.
Majas hiperbola pada kutipan berikut :
§ Tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang, dicabik-cabik korupsi ini.
§ Namun yang lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya.
§ Jangan membunuh diri dengan deskripsi-deskripsi yang menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam
§ Tapi aku tolak mentah-mentah.
§ Keadilan tak boleh menjadi sebuah taeter, tetapi mutlak hanya pencari keadilan yang kalau perlu dingin dan beku.
Majas personifikasi pada kutipan berikut :
Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak diseluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
6. Amanat
Dari cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya ini dapat diambil hikmah, dalam mengambil pilihan hidup itu kita seharusnya sebagai manusia, harus menggunakan pikiran serta perasaan. Sehingga pilihan yang kita ambil tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Banyaknya mafia – mafia kasus yang terjadi saat ini adalah bukti kebrobrokan moral yang terjadi di Negara ini, yang dimana hokum bisa dibeli di negeri ini. Kita yang sebagai manusia mempunyai akhlak hendaknya dalam menjalani sebuah pekerjaan haruslah sesuai dengan norma – norma yang berlaku, sehingga hal – hal yang merugikan orang lain apalagi menyengsarakan orang lain tersebut bisa di hindari. Bukan tidak mungkin bila rakyat telah marah, mereka akan lupa diri dan bisa melakukan hal – hal yang di luar batas kewajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar