1. Nilai Keagamaan
Segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini atas kehendak Tuhan YME, manusia tidak boleh
meramalkan apa yang akan terjadi. Hal tersebut terbukti dari
cuplikan dialog berikut :
“Drastis!
Perubahan cuaca memang sulit dipastikan, walau pun televisi setiap malam mengumumkan
ramalannya. Sulitnya di sini, mereka meramal tanpa memperhitungkan
kondisi-kondisi lain. Akibatnya, yang jadi korban selalu saja orang-orang
seperti saya. Berdiri berjam-jam sejak senja, taksi tak ada yang lewat, dan
malam tiba-tiba saja turun!”
2. Nilai Kultural
Nilai budaya
yang muncul ketika tokoh Tuan dan Nyonya berdialog, menunjukkan bahwa dengan
adanya perbedaan golongan. Ketika awal babak, dijelaskan melalui dialog yang
diungkapkan oleh Tuan dan Nyonya. Terbukti dari cuplikan dialog berikut :
Tuan :
“Benar juga firasat saya. Di mana pun
juga di atas dunia ini, rumah mewah selalu tidak ramah pada tamu!”
Nyonya :
“Tuan jangan bicara macam-macam di sini. Rumahku yang mewah ini dibuat bukan
untuk kepentingan ramah tamah, tapi untuk kesenanganku dengan suamiku! Ah,
ekornya Tuan. Ekornya, kritik Tuan itu sangat menggelisahkan pemilik rumah
mewah lainnya. Pergilah, Tuan! Pergi. aku benci dengan orang-orang yang suka
mengkritik, apalagi hanya unuk melindungi kepentingannya sendiri.”
Berdasarkan dialog di atas, bisa diambil
simpulan bahwa budaya orang kaya menunjukkan karakter yang sangat tertutup,
selain itu juga menunjukkan kesombongan dan rasa keegoisan. Hal ini bisa
dibandingakn antara dialog naskah tersebut
dengan kehidupan nyata saat ini. Dalam sastra seperti naskah drama, bisa saja
hal itu berkaitan langsung dengan kehidupan nyata. Atau mungkin bahwa maksud
pengarang salah satunya yaitu menjelaskan atau mengritik orang-orang kawasan
perumahan elit.
Hal ini bisa dibuktikan. Pada masa
sekarang terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari
dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi
prinsip moral umum pada kalangan orang-orang yang terutama tingaal di kawasan
perumahan. Hal ini seperti sudah menjadi budaya konsep perbedaan yang
disebabkan adanya stratifikasi social. Karena itu pada masa ini orang perumahan
sudah susah didapatkan dan diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang
dapat melandasi tingkahlaku moralnya seperti membudayakan sikap sopan santun
dengan semua tamu. Walaupun demikian, pada masa sekarang, orang tersebut juga
mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh
kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak
terlalu merugikan masyarakat.
Selain hal tersebut, setiap kali
menyindir orang lain, tokoh “Nyonya” selalu mengatakan dengan kata-kata
“ekornya”. Hal ini diungkapkan dengan maksud tujuan yaitu menyindir sikap org
lain yang hendak mengabaikan sopan santun dalam bercakap-cakap ataupun bersikap
dengan Nyonya. Hal ini selalu menjadi kebiasaan dalam tokor tersebut. Kata itu
sering diucapkan tokoh “Nyonya” terutana saat berbicara dengan keponakannya
maupun dengan tokoh “Tuan”. Mungkin hal ini bawaan kebiasaan keseharian tokoh
tersebut.
3. Nilai Sosial
Naskah berjudul Nyonya-Nyonya karya Wisran Hadi
merupakan naskah yang menggambarkan sketsa hidup kebanyakan orang di Indonesia
pada masa dahulu, bahkan sampai pada saat ini dan akan datang. Ide ceritanya
simpel namun sangat menusuk. Naskah ini pernah menjadi pemenang kedua Sayembara
Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta 2003.
Cerita dalam naskah ini merupakan cerita yang lucu
dan sederhana, namun menyiratkan suatu kritik sosial yang kompleks. Dalam
naskah berlatarkan kebudayaan Minang yang kental itu, tersirat suatu
penjungkirbalikan budaya Minang itu sendiri, serta menyinggung elite politik
yang sering mempermalukan dirinya sendiri dengan berebut kursi pemerintahan
dengan bahasa yang simbolik.
Aspek-aspek sosial yang berhubungan dalam penelitian
ini adalah faktor ekonomi, agama, dan budaya. Faktor ekonomi (dalam Radjo,
2008:13) adalah satu syarat yang mutlak bagi satu bangsa, maka adat di
Minangkabau sampai sekarang telah menyusun ekonomi masyarakat demi kepentingan
kehidupan masyarakat sebagai yang tersimpul dalam pepatah adat yaitu sawah
ladang banda buatan. Periharalah sawah nan bapirieng, ladang nan babidang oleh
penghulu-penghulu sekarang, tambah dan tukuaklah untuk kepentingan ekonomi anak
kemenakan sesuai dengan fungsi penghulu “mamalihara harato pusako, pusako jan
lah sumbieng, jan dijua digadaikan, imanah jan sampai ilang, bangso jan pupuih,
suku jan sampai baranjak.”
Selanjutnya aspek sosial tentang faktor agama.
Eksistensi agama tetap diakui, manakala para pemeluknya, apapun agamanya,
masing-masing memiliki peran dan kontribusi yang nyata di tengah-tengah
masyarakat, dengan berbagai struktur sosial yang ada. Sehingga agama, mampu
memberikan arti dalam kehidupan dan makna manusia seutuhnya, atau dalam istilah
L. Berger suatu keharusan fungsional (Functional Imperative) dalam struktur
sosialnya (Peter L. Berger, 1985:201).
Menurut
Koentjaraningrat (Elly, 2006: 28-29) mengemukakan kebudayaan itu digolongkan
menjadi tiga wujud yaitu: 1) wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan, 2) wujud kebudayaan sebagai
suatu yang kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat, dan 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Hubungan budaya pada penelitian ini menyangkut pada golongan ke dua pada wujud
budaya di atas, karena sistem sosial perwujudan kebudayaan yang bersifat
konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa. Dalam adat Minangkabau sedikitpun
tidak mengabaikan perikemanusiaan, hingga adat yang asli tidak terpengaruh oleh
alam kebendaan (materi) artinya yang tidak hitam dek arang nan tidak kuniang
dekkunyik, nan tidak lamak dek santan.
Cerita kehidupan sosial yang diceritakan dalam naskah drama ini berasal dari
Minangkabau, memang memberitahukan tentang nilai yang ada di dalam drama ini.
Dalam adat Minangkabau telah
dijelaskan bahwa sedikitpun tidak pernah mengabaikan perikemanusiaan, hingga adat
yang
asli tidak terpengaruh
oleh alam kebendaan (materi).
Orientasi terhadap uang jelas terbukti pada tokoh
Nyonya yang tidak mampu menjaga nama baiknya, bahkan Nyonya tidak sadar telah menjual harga dirinya. Dengan demikian,
dari penjelasan di atas bahwa tokoh
Nyonya terbukti setiap tindakan yang dilakukannya mengacu pada orientasi terhadap
uang
dalam bentuk perilaku materialistis.
Contoh dialog seperti di bawah ini:
Tuan : Lima ratus
ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara
atau dimarahi suami?
Nyonya : Ibuku
tentu akan memaki-makiku.
Tuan : Terserah Nyonya,
kata saya. Masuk penjara dan nama
baik
Nyonya hancur atau…? (MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)
Nyonya :
(MENERIMA
UANG ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan.
(MENCIUM UANG ITU BEBERAPA
KALI) Jadi, tuan tidak mengatakan
pada
siapa pun juga, bukan?
Nyonya tidak merasa tenang
karena
persoalan-persoalan
yang
berdatangan
terhadap dirinya.
Dilihat dari tokoh Nyonya yang terbukti tidak bisa menjaga nama baik karena
selalu
tergiur tawaran tinggi demi
mendapatkan uang. Tidak hanya berupa
benda mati seperti pekarang rumah,
empat petak marmer teras
rumah, kursi tamu, kursi makan, dan tempat
tidur yang tergadai demi
kepentingan
untuk mendapatkan uang, sampai- sampai
harga diri Nyonya
terbeli oleh Tuan. Contoh dialog seperti
di bawah ini:
Ponakan A : Kamu takut kan? Syukurlah. Aku akan takut, kalau kamu tidak `takut. Ayo,
serahkan uang
itu, kalau tidak…. (MENIKAM-NIKAM PISAU
ITU KE LANTAI)
Nyonya : Jadi,… jadi… kamu… perlu… uang. Baik.
(MENGELUARKAN UANG
DARI DALAM TAS) Ini.
4.
Nilai Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah
Ø Aturan yang bersumber dari hati nurani manusia
Ø Ajaran yang baik dan buruk
Ø Sanksi tidak tegas, menyesal, malu
Ø Contoh, berlaku jujur, menghargai orang lain.
Nilai kesusilaan yang
terdapat dalam drama lakon Nyonya-Nyoya adalah nilai-nilai ketimuran. Kepatuhan
seorang istri dalam menjaga nama baiknya dan suaminya adalah budaya Indonesia
atau ketimuran. Telah berlangsung sejak zaman kerajaan hingga saat ini mengenai
tingkah laku seorang istri.
Terdapat hal yang
menarik ketika membaca drama ini. Terdapat hal-hal terkait dengan persoalan budaya
negatif. Setiap babak memperlihatkan keinginan kuat dari Nyonya untuk menjaga
nama baiknya sebagai seorang agar jangan sampai ada laki-laki yang masuk ke
dalam rumah. Terkait dengan nilai ketimuran seorang istri terlihat dari dialog
dengan Tuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar