Pages - Menu

Suci Wulandari

Suci Wulandari
Suci Wulandari

Senin, 30 Mei 2011

RESUME MAKALAH PEKAN SASTRA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PESERTA DIDIK


A.                Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat (Suyanto, 2010: 1). Sementara itu, menurut Akhmad Sudrajat (2010:  2), karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Sejalan dengan pengertian di atas, Akhmad Sudrajat (2010: 2) lebih lanjut menjelaskan bahwa  pendidikan berkarakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Upaya mewujudkan pendidikan karakter yang berhasil perlu memperhatikan penerapan strategi yang tepat. Strategi pendidikan karakter meliputi : Sosialisasi, Pendidikan, Metoda, Pemberdayaan, Pembudayaan, dan Kerjasama.

B.       Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan Karakter
Pada jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal mestinya bersifat saling melengkapi dalam mewujudkan pendidikan karakter. Perlu dijalin komunikasi yang efektif dan berbagi nilai di antara keluarga, sekolah, organisasi keagamaan, dan masyarakat. Pendidikan informal, pendidikan keluarga dan lingkungan memiliki peran yang penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan.
Akhmad Sudrajat (2010: 3), pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Di sekolah, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Pendidikan karakter pada tingkatan intuisi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

C.       Peran Guru Bahasa Indonesia dalam Pendidikan Karakter
Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi edukatif antara siswa dan guru dan sumber belajar lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna. Untuk itu, guru perlu memberikan dorongan pada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasannya. Tanggung jawab belajar berada dalam diri siswa, tetapi guru bertanggungjawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat (Sarwiji Suwandi, 2007: 15; 2010: 7 ). Demikian pula yang ditegaskan dalam Pasal 1 UU No. 14 Th. 2005 bahwa guru memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Siswa akan terus belajar dan belajar secara aktif jika kondisi pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman, dan jauh dari perilaku yang menyakitkan perasaan siswa. Diperlukan suasana belajar yang menyenangkan karena otak tidak akan bekerja optimal bila perasaan dalam keadaan tertekan. Untuk itu, sebagaimana ditegaskan Brown (2000: 7), guru memiliki tugas penting membimbing dan memfasilitasi siswa dalam belajar.

Pembelajaran yang aktif, efektif dan menyenangkan menuntut peran guru sebagai fasilitator yang kreatif dan dinamis. Guru diharapkan menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran atau manajemen kelas yang bervariasi, mengatur kelas dalam suasana yang menyenangkan, mengembangkan materi sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, serta menyiapkan dan menggunakan media pembelajaran yang menarik dan menantang partisipasi aktif siswa dalam kegiatan berkomunikasi.
Untuk menjadi guru yang hebat kiat SEBELAS K (Sarwiji Suwandi, 2007) yaitu Kasih sayang, Kepedulian, Kesabaran, Kreativitas, Kerendahan hati, Kabijaksanaan, Komitmen, Kejujuran, Keteladanan, Keaslian, dan Kerjasama).

D.       Karya Sastra yang Berkarakter dan Mencerdaskan
Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008: 131) sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik.
Sastra tidak hanya menjadi sesuatu yang mampu memberikan kemenarikan dan hiburan serta yang mampu menanamkan dan memupuk rasa keindahan, tetapi juga mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual. Selain mengandung keindahan, karya sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, baik bobotnya maupun susunannya; menciptakan kembali keseluruhan hidup yang hayati: kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Suryaman dan Tufik Ismail, 2006).
Secara teori, Abrams (1981) memberika pemetaan mengenai karya sastra ke dalam empat paradigma. Paradigma pertama adalah mengenai karya sastra sebagai karya objektif. Paradigma kedua adalah mengenai karya sastra sebagai karya mimesis. Paradigma ketiga adalah mengenai karya sastra sebagai karya pragmatis. Paradigma keempat adalah mengenai karya sastra sebagai karya ekspresif.

E.       Materi Sastra di dalam Kurikulum yang Berkarakter dan Mencerdaskan
Di dalam SI terdapat standar kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan kuakifikasi kemampuan minimal peserta didik yang digambarkan melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespons situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan standar kompetensi ini terdapat beberapa harapan yang ditumpukan kepada mata pelajaran Bahasa Indonesia, yakni sebagai berikut :
a.         Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri.
b.        Pendidik dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, bersastra, dan sumber belajar.
c.         Pendidik lebih mandiri dan leluasa dalam menentuka bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.
d.        Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah.
e.         Sekolah dapat menyusun pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia.
f.         Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Menurut permendiknas No. 27 Th. 2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
a.    Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
b.    Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia
Berdasarkan harapan dan tujuan tersebut, penekanan pembelajaran sastra berorientasi pada mamfaat sastra bagi pengembangan karakter dan pencerdasan peserta didik, disamping manfaat estetis. Permasalahan terbesar dan mendasar di dalam pembelajaran bersastra saat ini adalah permasalahan berkenaan dengan kemampuan dan kebiasaan membaca dan menulis.
Kegiatan bersastra memerlukan pula pemahaman yang baik dari pendidik berkenaan dengan fungsi utama sastra yang termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Fungsi utama sastra adalah untuk penghalusan budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra.
Masyarakat beranggapan bahwa membaca sudah dikuasai selepas masa kanak-kanak yang ditandai dengan dapat mengenali huruf-huruf tertulis. Pandangan ini berdampak negatif bagi pengembangan budaya masyarakat. Mereka tidak perlu lagi belajar membaca melalui kegiatan membaca berbagai karya sastra. Sebagian besar keluarga pun tidak menyediakan buku dan mengondisikan anak-anaknya untuk membaca selepas tamat sekolah dasar. Pandangan ini terus berlanjut pada generasi berikutnya. Bahkan, pandangan ini terus dianut oleh para pendidik, termasuk pendidik bahasa Indonesia.
Jika menengok kegiatan bersastra yang dilakukan selama ini, sesungguhnya kurikulum telah memungkinkan peserta didik untuk mahirdan terbiasai membaca dan menulis. Permasalahannya adalah implementasinya di kelas maupun di rumah. Pendidik dan peserta didik menghabiskan relatif banyak waktu kegiatan kelasnya untuk keterampilan seperti bahasan kosakata, hubungan huruf bunyi, dan jawaban terhadap pertanyaan secara tertulis. Relatif sedikit waktu yang dihabiskan untuk pendramatisasian cerita, membaca senyap mandiri prosa, menyimak cerita yang dibaca, membaca di perpustakaan, atau bekerja dalam kelompok kecil membaca. Selain membaca dan menulis, kemampuan bersastra lain yang harus dikembangkan adalah kemampuan mendengarkan dan berbicara. Melalui pembelajaran ini, peserta didik harus mampu menjadi pendengar dan pembicara yang handal.

F.        Pembelajaran Bersastra yang Relevan
Menurut Rusyana dan Suryaman, 2005 bahwa pembelajaran bersastra dikehendaki terjadinya kegiatan bersastra, yaitu kegiatan menggunakan bahasa dan estetika. Kegiatan bersastra yang efektif adalah kegiatan yang mengarah pada berapresiasi secara luas, bukan sebatas bahasan yang sifatnya kognitif.
Piaget (1971) menawarkan empat fase perkembangan kognitif, yakni sensori motor, praoperasional, berfikir konkrit, dan berfikir normal. Masing-masing fase tentulah memiliki karakteristik yang khas. Perubahan kognitif dari berpikir konkretke berfikir abstrak berimplikasi bagi kegiatan bembelajaran bersastra. Jika pada mulanya pserta didik di dalam belajar ber sastra didasari oleh pemikiran bahwa pemikiran apa yang di indera itulah sesungguhnya kehidupan pada masa remaja mereka akan merubah haluan. Peserta didik akan mulai menggali sesuatu yang tidak tampak secara inderawi. Dalam posisi seperti ini, pendidik bahasa Indonesia haruslah membantu mereka untuk mengembangkan penemuan-penemuan baru yang akan memperkaya pengalaman kognitifnya.
Menurut Suryaman dan Utorodewo, 2007 bahwa perhatian yang harus di berikan pendidik secara khusus di dalam pengembangan kompetensi bersastra adalah kompetensi-kompetensi yang difokuskan pada kegiatan membaca dan berdiskusi. Berdasarkan hasil pemetaan terhadap SK-KD, dapat di kenali lebih jauh mengenai apa yang diperlukan pesrta didik di dalam belajar bersastra dan apa yang harus diajarkan kepada mereka. Hasil pemetaanmenunjukan bahwa belajar bersastra di arahkan pada pengembangan kemampuan bersastra. Malalui pengembangan kemampuan bersastra, kompetensi-kompetensi yang di kembangkan adalah kompetensi membaca dan menulis serta mendengarkan dan berbicara yang di arahkan pada pengembangan kompetensi bersastra yang sifatnya fungsional dan bermakna.
hasil pemetaan terhadap SK-KD, tergambar bahwa belajar bersastra ditujukan untuk berbagai kepentinga diantaranya adalah menjadikan peserta didik mahir membaca dan menulis serta mendengarkan dan berbicara terkait dengan bersastra. Jika kepentingan ini tercapai. Belajar bersastra akan di rasakan manfaatnya oleh pesertadidik karena mereka dipermudah untuk mempelajari bidang-bidang lainnya di sekolah.
Di dalam konteks membaca dan menulis, kurangnya sarana dan prasarana khususnya perpustakaan dan buku akan melemahkan percepatan pengembangan  kemampuan baca-tulis. Akibatnya, kemampuan baca-tulis yang bersifat teknis akan terus berlanjut. Padahal harapan dari pembelajaran bersastra adalah berkembangnya kemampuan baca-tulis dalam pengertian secara fungsional dan budaya, sebagai bagian dari pendidikan karakter.
G.      Pemilihan Karya Sastra yang Relevan
Salah satu bentuk pengajaran sastra di sekolah adalah melalui kewajiban bagi peserta didik untuk membaca karya-karya sastra bermutu. Di seluruh warga di dunia, sekolah mewajibkan para peserta didiknya untuk membaca buku sastra (bukan bertujuan agar peserta didik jadi sastrawan) tapi agar terbentuk dan terlatih kebiasaan serta kesenangan membaca buku pada umumnya.
Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh di era global abad ke-21 dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral peserta didik yang sedang melanda bangsa akhir-akhir ini, sehingga diperlukan buku-buku sastra yang memenuhi kriteria yang sesuai dengan peserta didik.
Berdasarka kritearia tersebut, esensi pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra akan tercapai secara efektif. Hal ini dimungkinkan oleh karena esensi dari hakikat sastra adalah sebagai media pencerahan mental dan intelektual pembacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar