Pages - Menu

Suci Wulandari

Suci Wulandari
Suci Wulandari

Senin, 30 Mei 2011

About Chairil Anwar


Lahir di Medan tahun 1922, tutup usia di Jakarta 1949, Chairil Anwar mati muda. Namun dalam kemudaan usianya yang hanya 27 yahun, ia melakukan sesuatu yang besar untuk dunia sastra, sehingga harumlah namanya. Hidupnya yang singkat menjadi bermakna. Hanya dengan menulis puisi, itupun dalam jumlah kecil (70 buah), rata-rata 3 dalam 2 bulan, seorang Chairil telah berbuat sesuatu yang berharga untuk bangsa dan negaranya.
Puisi yang ia ciptakan bukanlah sembarang puisi, melainkan puisi yang mengandung berbagai keistimewaan. Puisinya penuh inovasi, ide dan ekspresi, kesegaran daya ungkap, serta daya gebrak terhadap monotonitas kondisi kesusastraan saat itu, serta terhadap idealisme Pujangga Baru yang penuh semangat romantik dan condong ke Barat.
Sajak-sajak Chairil sangat magnetis. Tenaga kata-katanya penuh gelora revolusi dan semangat hidup dengan pendiksian yang sangat selektif dan akurat, serta berdaya ekspresi kuat. Idenya mendukung harapan batin yang sangat pribadi, percaya penuh pada kekuatan diksi. Meski beberapa sanjaknya sangat sekuleristik, namun tetap terpancar karakter kuat, revolusioner dan mandiri. Chairil menulis bertolak dari realitas zaman yang keras, serta menyadari betapa pentingnya jiwa baja dalam menghadapi hidup yang seliat baja ini.
Chairil Anwar telah memantapkan kedudukan sastra Indonesia sebagai bagian integral dari seni budaya Indonesia, satu perasaan yang disinyalir oleh penyair Leon Agusta, belum diberikan oleh penyair lain.
Diam-diam Chairil telah menjadi guru dalam penulisan puisi bagi sebagian besar penyair Indonesia, baik yang sekarang sudah maupun masih pemula. Hampir seluruh publik puisi Indonesia punya atensi dan bersikap apresiatif terhadap karya-karya pelopor angkatan ’45 ini. Chairil Anwar telah memotret situasi kehidupan bangsa dan zamannya. Ia lebih maju ketimbang zamannya. Indikasinya, meski sajak-sajaknya dicipta lebih dari delapan windu silam, namun tetap enak dibaca hingga kini, bahkan nanti.
Telah 62 tahun Chairil Anwar meninggalkan kita, namun ia menjadi figur yang monumental dan legendaris dengan karyanya yang cemerlang. Chairil telah menjadi ikon sejarah sastra Indonesia. Chairil hidup dan berkarya pada zaman Jepang sampai tahun-tahun awal kemerdekaan, zaman penuh pergolakan dan kesulitan, tetapi juga romantika perjuangan.
Chairil penyair cerdas dan pintar, hanya berpendidikan formal kelas II Mulo (SLTP), namun menguasai beberapa bahasa asing, serta penerjemah sastra mancanegara yang piawai. Merupakan pribadi kontroversial, dalam dirinya tergabung sifat pragmatik dan idealistik, romantik dan angi-anginan, anarkis dan romantis, sekuleristik dan religius, ramah terbuka dan baik hati, hidup sebebas-bebasnya, tahan hidup menggelandang, figur gaul yang enak diajak dikusi tentang politik, filsafat, seni budaya, dunia intelek.
Ia tidak memilih teman bergaul, bersama seniman, bahkan panggung politik bersama Sultan Syahrir, pamannya. Tetapi ia pun sanggup begadang bersama tukang becak, gelandangan, kuli bangunan, dan bunga-bunga jalanan. Bertolak dari hidup yang penuh petualangan, kepahitgetiran, tapi juga menara gading, Chairil menulis sajak. Chairil yang santai dan acak-acakan dalam kesehariannya, ternyata sangat terampil dan serius dalam bersyair. Baginya dunia sanjak adalah dunia serius, dunia intelektual dan filosofis, dunia orang-orang bercitra artistik tinggi.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri memberi kesaksian, betapa Chairil bersedia mengorbankan waktu berminggu-minggu hanya untuk menciptakan sebuah sajak, beberapa hari untuk memikirakan sebuah kata dan baris dalam sebuah puisi. Chairil sangat menimbang kata, hati-hati dalam soal pendiksian, pemilihan idiom dan penggunaan simbol.
Chairil Anwar adalah pejuang yang memberontak atas kemonotoran kondisi persajakan Angkatan Pujangga Baru yang liris romantik dan Angkatan Balai Pustaka yang mendayu-dayu penuh citarasa kemelayuan yang kental. Chairil sangat kontemporer pada zamannya, bebas dari segala ikatan bentuk yang dirasakannya membelenggu daya ekspresi.
Puisi-puisi Chairil Anwar yang penuh ledakan, bisa dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Ledakan pemberontakan, yakni sajak “Kepada Kawan” dan “Kepada Peminta-minta”
2.      Ledakan patriotisme dalam sajak “Diponegoro”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Cerita Buat Dien Tamaela”
3.      Ledakan semangat individual yang kuat sekali, dalam sajak “Aku”, “Merdeka”, “Selamat Tinggal”
4.      Ledakan eksistensialis, dalam sajak “Hampa, “KawanKu dan Aku”, “Sipa Sedia”
5.      Penghayatan religi dengan tatapan batin personal, dalam sajak “Sorga”, “Kesabaran”, “Isa”, “Mesjid”, “Sendiri”, dan “Catatan 1946”
Sajak-sajak Chairil Anwar sebenarnya bisa dijadikan contoh, bahwa ia reformis kesusastraan, karena dalam sajak-sajaknya dapat kita temukan semangat pembaruan, perubahan ke arah ekspresi dan kreativitas yang bebas merdeka, suatu gairah Indonesia Baru yang dinamis-terbuka dan kreatif mandiri. Puisinya juga memberi semangat kebangkitan membongkar tatanan lama yang serba seragam, monoton, cengeng, menuju budaya Indonesia masa depan yang menghargai pluralitas, tegar, militan, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang bebas merdeka serta humanisme-universal, selaras amanat sastra dan kesenian pada umumnya.
Nasilonalisme mengharuskan rascinta yang mendalam kepada Negara yang di cintainya dan rasa cinta ini tentu saja memiliki banyak bentuk. Dalam dunia sastra, bentuk yang paling berterima untuk menunjukan nasionalisme ini adalah dengan merajut kata menjadi senjata. Nasionalisme menjada isu penting bagi para sastrawan Indonesia pada saat Belanda dengan congkaknya menguasai Indonesia. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul di bandingkan persoalan batas-batas  kewilayahan.
 Karya-karya Muhamad Yamin , Sutan Takdir Alisjahbana, Pramudya Antana Toer, bahkan Amir  Hamzah, dan Chairil Anwar menunjukan hal itu. Chairil Anwar adalah sastrawan yang begitu di kenal dan juga menjadi salah satu pelopor angkatan ’45 atau angkatan perjuangan. Dalam masa hidupnya yang sangat singkat ,Sastrawan yang di juluki “Binatang Jalang” ini telah menulis sekitar 94 karya sastra. Sebagian karya sastra yang di tulis adalah puisi, dan namanya begitu di kenal sebagai seorang sastrawan karena puisi-puisi yang di tulisnya bermutu tinggi.
Chairil menulis puisi bermutu tinggi dengan menyandang ideologi atau pemikiran besar tentang nasionalisme, puisi yang di tulis Chairil ini sering di sebut dengan puisi mimbar, yaitu jenis puisi yang sangat erat hubungannya dengan keadaan zaman. Beberapa karya Chairil Anwar yang sangat kental aroma nasionalismenya, misalnya “Diponegoro” “Persetujuan dengan Bung Karno” dan “Kerawang Bekasi”. Karya-karya tersebut dengan lantang meneriakan semangat nasionalisme .
Dalam “Diponegoro” Chairil memperlihatkan semangat untuk mencapai kemerdekaan dengan tiga simbolisasi 1-2-3, yang biasanya di gunakan untuk mengawali perlombaan dan menjadi aba-aba yang akan memicu semangat yang menggelora. Dua tahun setelah puisi itu di tulis, maka kemerdekaan menjadi milik bangsa Indonesia. Chairil tak pernah merasa cukup meskipun kemerdekaan telah di genggam Indonesia. Karya-karyanya tetap menyuarakan semangat yang berapi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Puisi yang berjudul “ Persetujuan dengan Bung Karno”, dan “ Karawang Bekasi” memperlihatkan bahwa begitu besar kepedulian dan upayanya untuk tidak lupa berpesan tentang rasa cinta tanah air pada setiap masyarakat. Karena cinta kepada negara berarti mengharapkan yang  terbaik untuk Negara.
Persoalan nasionalisme dalam sastra Indonesia menjadi berkembang , namun bergeser pada persoalan revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan dari kolonialisme, Chairil pun terus menulis dan merajut kata menjadi senjata, hingga 28 April 1949 m wafat dalam usia 27 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar